Langsung ke konten utama

Pengertian Thaharah Menurut Empat Madzhab

Thaharah - Artikel ini akan berfokus pada pengertian thaharah menurut empat madzhab. Artikel ini juga di ambil dari buku Fiqih Empat Madzhab yang disusun oleh: Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah.

BAB Thaharah

Pengertian Thaharah Menurut Empat Madzhab


Keempat imam madzhab (Mālik, Abū anīfah, Aḥmad bin anbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa shalat tidak sah kecuali dengan Tahārah, jika ditemukan jalan untuk melakukan Tahārah. (582)

Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:

يا أيها الذين آمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم و أيديكم إلى المرافق و امسحوا برؤوسكم و أرجلكم إلى الكعبين و إن كنتم جنبا فاطهروا و إن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم ا اللهُ لِيَجْعَلَ لَيْكُمْ لكِنْ لِيُطَهَّرَكُمْ لِيُتِمَّ لَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ

“Hai orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, serta sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), lalu sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapai dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).

2. Mereka juga sepakat bahwa fardhu atau rukun wudhu ada empat, yaitu:

  1. Cuci mukamu;
  2. Membasuh kedua tangan sampai siku;
  3. Menusap kepala; dan
  4. Membasuh dua kaki sampai dua mata kaki.

3. Mereka berbeda pendapat tentang lebih dari empat rukun di atas. Menurut Ab anīfah, hukum itu sunnah atau mustahab, bukan fardhu. Sedangkan menurut Ash-Syāfi'ī dan Ahmad, niat dan perintah adalah fardhu wudhu. (615).

Imam Malik berpendapat: "Niat dan berturut-turut (Muwālāt) adalah fardhu wudhu, sedangkan tertib tidak fardhu.".

Hal ini diriwayatkan oleh Muḥammad bin 'Abd-il-'Azīz al-Warrāq al-Lakham dalam kitab al-Jam'u wal-Khilāf.

[Dan]  ahli bahasa mengatakan: Tahur berarti yang membuat sesuatu yang lain suci, seperti kata Qatūl.

Tsa'lab berkata: "Tahur adalah yang suci pada dirinya sendiri dan menyucikan yang lain."

Definisi ini tidak bertentangan dengannya selain beberapa pengikut Ab anīfah. Mereka berkata: "Tahur adalah sesuatu yang suci secara berlebihan."

4. Mereka juga sepakat bahwa wajibnya Tahārah menggunakan air bagi siapa saja yang wajib shalat ketika ada air. Jika tidak ada air maka penggantinya adalah tanah suci. Hal ini berdasarkan firman Allah s.w.t.:

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci) lalu basuhlah wajah dan tangan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Juga kata-katanya:

“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu.” (QS. al-Anfāl [8]: 11).

Ahli bahasa mengatakan: "Thahārah adalah membersihkan diri dari kotoran dan najis."

5. Mereka juga sepakat bahwa jika air berubah dari bentuk aslinya (bentuknya) karena sesuatu yang suci yang mendominasi bagian-bagiannya yang pada umumnya air tidak membutuhkannya, maka tidak boleh berwudhu dengannya. Kecuali Abū anīfah yang membolehkan wudhu dengan air yang berubah-ubah karena bercampur dengan Za'farān dan sejenisnya.

6. Mereka sepakat bahwa jika air berubah karena najis, maka hukumnya najis, baik airnya sedikit maupun banyak.

7. Mereka berbeda pendapat tentang air yang kurang dari 2 Qullah dicampur dengan najis.

Ukuran 2 Qullah sama dengan 500 Rithl 'Irāq. Menurut Ab anīfah, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat mereka – adalah najis. Sedangkan menurut Malik dan Amad – dalam riwayat lain – . hukumnya tidak najis (tetap suci) selama airnya tidak berubah..

8. Mereka juga sepakat bahwa tidak boleh berwudhu dengan air rendaman buah (nabdz) secara mutlak. Kecuali Abū anīfah, karena ada beberapa riwayat yang berbeda darinya.

Diriwayatkan darinya bahwa hukum tidak boleh, seperti pendapat jama'ah. Pendapat ini dipilih oleh Abu Yusuf. Ada juga riwayat dari beliau bahwa diperbolehkan berwudhu dengan air perasan kurma yang dimasak di jalan ketika tidak ada air. Ada juga riwayat dari beliau bahwa boleh berwudhu dengan air, hanya saja harus ditambah dengan tayammum. Pendapat ini dipilih oleh Muḥammad bin al-Ḥasan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Datang

Kenalan Yuk! Selamat datang di blog lintas madzhab pertama kenalin dulu nama saya DM teman bisa panggil saya dengan sapaan DM Saya adalah penulis tunggal di blog lintas madzhab ini. Saya seorang pelajar di salahsatu sekolah menengah tigkat pertama (SMP) di kab Tasikmalaya. hobby saya menulis dan membaca.  Kedua, saya ingin berterima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang telah mensuport saya membuat blog ini. Ketiga, khusus untuk visitor saya, terimakasih banyak sudah berkenan mengungjungi blog ini. Semoga kalian betah disini ya... Amiiiin. Ke Empat. Saya yakin bahwa diri saya banyak kekurangan dan banyak salah! Jadi, jika teman menemukan kesalahan di tulisan saya, jangan diam, jangan sungkan dan jangan malu menghubungi saya melalui laman kontak.